Marsinah,1969 - 1993 |
PamanYan.Blogspot.com, Lahir dari pasangan Astin dan Sumini di Desa Nglundo,Kec.Sukomoro,Kab.Nganjuk,Jawa Timur,pada tanggal 10 April 1969,Marsinah adalah anak kedua dari tiga bersaudara kakaknya bernama Warsini dan adiknya bernama Wijayati.Ibunya meninggal pada saat ia berusia 3 Tahun dan adiknya Wijayati masih berumur 40 Hari.Kemudian sang ayah menikah lagi dengan seorang wanita bernama Sarini.dan sejak saat itulah Marsinah kecil diasuh oleh Neneknya bernama Paerah yang tinggal bersama paman dan bibinya pasangan Suraji dan Sini.
Marsinah mengenyam pendidikan di SDN Nglundo,tidak ada yang istimewa dalam diri Marsinah,meskipun memiliki kepintaran yang biasa-biasa saja namun dikalangan guru dan teman-temannya Marsinah dipandang rajin,minat membaca,memiliki pemikiran yang kritis dan rasa tanggung jawab yang menonjol.Terbukti pada setiap tugas sekolah yang selalu ia selesaikan dan tak segan mengacungkan tangan ketika penjelasan dari gurunya ia anggap kurang bisa dipahami.Kemudian pada saat ia duduk di kelas VI ia pun pindah ke SDN Karangsemi dan dilanjutkan ke SMPN Nganjuk.Kemudian pada saat beranjak ke SMA harapannya harus pudar ketika ia gagal untuk dapat masuk ke SMA Negeri Favoritnya hingga akhirnya berkat bantuan dana dari pamannya ia pun melanjutkan pendidikan SMAnya di SMA MUHAMMADIYAH.Minat membacanya pun semakin meluas,waktu demi waktu istirahatnya ia habiskan didalam perpustakaan ketimbang bermain.Lagi-lagi cita-citanya harus pudar karena ia gagal untuk melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum.
Dari kecil Marsinah dikenal memiliki pemikiran yang lebih dewasa dari teman-teman sebayanya.Setiap sepulang sekolah Marsinah selalu membantu Neneknya untuk menjual beli gabah dan jagung.Dengan menerima upah seadanyanya dan hanya dengan bersepeda ia harus mengangkut gabah dan jagung dari sawah menuju rumahnya maupun rumah sipemesan.Hingga setelah ia gagal mendapati cita-citanya untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi,tak ada pilihan lain baginya selain untuk merantau ke kota.Pada Tahun 1989 ia menginjakkan kaki di Surabaya dan menumpang dirumah kakaknya Warsini yang sudah berkeluarga.Hingga pada akhirnya untuk pertama kalinya Marsinah berkerja di pabrik plastik SKW Kawasan Industri Rungkut.Meskipun gajinya dikatakan cukup,untuk menambah penghasilan ia berjualan nasi bungkus seharga Rp.150/Bungkus disekitar pabrik .demi penambahan penghasilan dan upah yang layak ia pun berpindah-pindah kerja dari satu pabrik kepabrik lainnya hingga pada akhirnya di tahun 1990 ia pun berkerja di PT.Catur Putera Surya (CPS) sebuah perusahaan Arloji.
Di pabrik itu Marsinah bukanlah seorang aktivis.ia juga bukan termasuk Satuan unit kerja maupun bagian kelompok informal yang membahas dan mendiskusikan tentang kondisi kerja mereka.Secara pribadi ia meluangkan waktunya untuk kursus komputer dan bahasa inggris,karena ia yakin melalui pendidikanlah masa depan seseorang bisa lebih baik.Dipabrik ini Marsinah dan beberapa rekannya hanya pernah menuntut berdirinya Unit Serikat Pekerja Formal (SPSI).Mungkin karena tuntunan inilah Marsinah lalu dipindah ke PT.CPS Porong,Sidoarjo pada tahun 1992.Ia tinggal dipondok (Mondok) di pemukiman sekitar pabrik,desa Siring.Disini ia berkerja sebagai operator mesin bagian injeksi dengan upah Rp.1.700/Hari dan uang hadir sebesar Rp.550/Hari.
Sampai pada awal tahun 1993,Gubernur DKI jakarta (pada saat itu Soerjadi Soedirdja) mengeluarkan surat edaran No.50/Th.1992 yang berisi tentang himbauan kepada para pengusaha yang memiliki perusahaan agar dapat menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% dari gaji pokok.
PT.Catur Putera Surya |
Menanggapi hal itu perundingan demi perundingan pun dilakukan.Melibatkan 24 orang perwakilan buruh,9 diantaranya merupakan pengurus SPSI dan 15 orang lainnya dipilih secara spontan.Namun Marsinah tidak ikut serta didalamnya.pada aksi pemogokan 4 Mei saat perundingan berlangsung antara wakil buruh dan para birkorat yang melibatkan pejabat Depnaker, DPC SPSI, Kanwil Sospol Sidorjo dan jajaran Muspika setemapat termasuk wakil Polsek dan Danramil Sidorjo, berlangsung di kantor pabrik, ia malah bekerja seperti biasa. Sementara, pagi hingga menjelang siang itu juga, seorang kawannya yang dituding sebagai pemrakarsa pemogokan tengah memenuhi surat panggilan Kodim dan dinterogasi di Makodim Sidoarjo.Meskipun begitu,perundingan yang tidak melibatkan perusahaan itu sendiri berjalan lancar dan hampir semua butir tutuntan buruh dipenuhi meskipun ada sedikit kompromi seperti cuti hamil,cuti haid,upah lembur,bahkan kenaikan upah sesuai peraturan UMR.
04 Mei 1993,sore hari pada saat itu,13 buruh PT.CPS yang dicap sebagai dalang dipanggil untuk menghadap ke pasi intel KODIM 0816 Sidoarjo melalui surat yang ditanda tangani sekretaris kelurahan desa Siring.Mengetahui hal itu malamnya Marsinah menulis sebuah catatan yang berisi semacam petunjuk jawaban jika rekan-rekannya besok diintrogasi di KODIM,ia pun mengatakan kepada rekan-rekannya jika mereka diancam maka ia akan membawa persoalan ini keseorang pamannya dikejaksaan Surabaya.
Rabu,05 Mei 1993,13 buruh yang dipanggil memenuhi panggilan KODIM.Disitu mereka dipaksa untuk menanda tangani surat pengunduran diri bermaterai dengan berbagai intimidasi maupun bujukan, termasuk akan diberi uang pesangon dan ‘uang kebijaksanaan’. Tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali patuh, menandatangani surat tersebut.Selepas Maghrib mereka menerima uang pesangon yang langsung dibagikan menejemen dimarkas itu.Sempat terlontar dari salah seorang menejer PT CPS bahwa pemecatan tersebut bukan kemauan perusahaan, tapi kehendak Kodim.
Tapi menurut Uus (43,rekan Marsinah) sebenarnya para buruh pun sudah puas dengan keputusan perusahaan yang menaikan gaji. Bahkan Marsinah meminta teman-temannya giat bekerja karena perjuangan sudah selesai.
"Wes yo rek, perjuangane awak dewe wes mari. Upahe awak dewe wes diundakno. Saiki, aku titip. Ayo kerjo sing temen, gawe masa depane awak dewe sesuk (Sudah iya rek, perjuangan kita semua sudah selesai. Upah kita sudah dinaikan. Sekarang, saya titip. Ayo kerja yang benar, buat masa depan kita)," kata Uus menirukan perkataan Marsinah.
Sementara itu,untuk mendengarkan informasi dari ke 13 teman-temanya yang dipanggil KODIM itu,selepas pulang kerja giliran paginya,Marsinah bertemu dengan salah satu temannya dan mengingatkan untuk ada pertemuan untuk membahas hal tesebut.Dirumah pondokannya,ia membuat surat pernyataan yang dituliskan oleh teman satu kosnya yang juga berkerja di PT.CPS,pada sore harinya,surat tersebut difotocopy dan berencana untuk di bagikan ke teman-temannya pada pertemuan malam hari yang sebelumnya ia janjikan.Pada awalnya surat tersebut hendak disampaikan ke perusahaan melalui ketua unit kerja SPSI PT CPS, tapi Marsinah dan seorang temannya yang memboncengkannya dengan motor tidak berhasil menemukan rumah si ketua. Akhirnya ia sampaikkan langsung ke pabrik melalui satpam.
Sepulang mengantar surat,Marsinah kembali kepondokan salah seorang temannya.Menjelah Maghrib demi untuk mengetahui perkembangan ke 13 temannya,bersama 4 orang temannya Marsinah memutuskan untuk menyusul ke KODIM,3 orang temannya naik kendaraan umum sedangkan ia berboncengan dengan sepeda motor,tapi mereka semua terlambat sebab ke 13 temannya sudah kembali pulang,dalam perjalanan pulang ia sempat singgah ke beberapa temannya untuk membagikan-bagikan surat yang telah ia fotokopi.
Di perempatan desa Siring, Marsinah bertemu dengan empat dari 13 temannya. Karena silang pembicaraan di antara mereka terlalu ramai, Marsinah mengajak dua orang temannya bercakap-cakap di teras rumah pondokannya. Ia menceritakan bahwa telah membuat surat ke perusahaan dan menunjukkannya. Sebaliknya, Marsinah sangat terkejut dan gusar, ketika mengetahui ke-13 buruh yang dianggap biang pemogokan sudah dipecat di Makodim. Ia tidak menerima pemecatan itu, dan menegaskan akan mengadu ke pamanya yang jaksa di Surabaya itu.
Setalah teman-temannya pamit pulang, Marsinah masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian ia pamit kepada ibu pondokannya untuk ke rumah seorang teman perempuannya.Tapi ia tidak bertemu temannya itu karena kerja giliran malam.Pada saat itu Marsinah mengenakan kaos putih, rok coklat dan bersandal jepit.
Dalam perjalanan kembali ke pondokannya, ia berjumpa dengan dua orang kawannya yang lain, lalu mengajak mereka ke rumah pondokan teman lainnya untuk meminta Surat Persetujuan Bersama hasil perundingan 4 Mei 1993. Baginya surat kesapakatan itu penting untuk memastikan janji pihak perusahaan pada butir 10 kesepakatan tersebut, (kutipan aslinya): “Sehubungan dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon untuk tidak mencari-cari kesalahan karyawan”
Tetapi kesalahan buruh tetap dicari, dengan akibat pemecatan mereka. Janji tidak dipatuhi. Ia merasa diperlakukan sewenang-wenang, tidak adil. Kuasa otoriter tiba-tiba muncul dihadapannya, mengoyak akal sehatnya. Membuatnya geram, merasa dikhianati. Meskipun belum jelas baginya, siapa yang berkhianat? Pihak perusahaan atau Kodim?
Tak seorangpun dapat mengetahui apa yang ada dalam benak Marsinah malam itu: Rabu 5 Mei 1993. Yang diketahui, sepulang dari rumah temannya yang memberi Surat Persetujuan tersebut, ia mengajak dua kawan yang menemaninya untuk membeli makanan. Tapi karena sudah larut malam, menjelang setangah sepuluh, keduanya menolak. Mereka berpisah di bawah pohon mangga dekat Tugu Kuning, desa Siring."Sekitar pukul 10 malam (22.00 WIB), kita selesai pertemuan. Mbak Marsinah saat itu pamit makan ke seberang Jalan Raya Porong. Sedangkan kami, kembali ke kos masing-masing di Desa Siring," ujar Uus.
Dari perpisahan itu, ternyata itu pertemuan Uus dan buruh lainnya dengan Marsinah, yang terakhir. Sebab, mereka semuanya selama tiga hari mengira, kalau Marsinah pergi untuk pulang ke kampung halamannya di Nganjuk. Bahkan, buruh juga mendatangi kantor Kodim setempat, untuk mencari keberadaan Marsinah selama tiga hari.
"Setelah tiga hari kami mencari keberadaan mbak Marsinah. Baru pagi hari (8 Mei 1993), kami mendapat kabar, mbak Marsinah ditemukan dalam keadaan meninggal penuh luka di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk," kata Uus yang sudah tampak lemas.
Mendengar kabar itu, Uus dan seluruh karyawan pabrik seolah tidak percaya. Mereka hanya bisa menangis dan larut dalam kesedihan. Hingga pagi harinya (9 Mei 1993), Uus dan sejumlah rekannya memutuskan untuk melayat sekaligus memastikan kebenaran kabar tersebut ke rumah Marsinah di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
"Setelah mendapat kabar, beberapa teman kami, datang kesana untuk melayat dan melihat apakah itu memang Mbak Marsinah teman buruh kami? Ternyata saat didatangi, memang benar," cerita Uus.
Memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang penting kemudian, melainkan jalinan citra yang tersusun melalui serangkain pertarungan wacana yang rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Para aktivis perburuhan menyanjungnya sebagai suri teladan pejuang buruh. Penguasa militer pusat dibantu setempat merekayasa penyelubungan kasusnya sekaligus menyusun skenario peradilan. Kepolisian setempat menyidik tersangka palsu. Para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan perempuan. Para seniman mendramatisasi nasibnya ke dalam lagu, mengabadikanya dalam monumen, patung, lukisan, panggung teater dan seni rupa instalasi. Para aktivis hak asasi menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Khalayak awam prihatin dan bersimpati membuka dompet sumbangan bagi keluarganya. Para birokrat serikat pekerja melambangkanya sebagai korban kesewenangan majikan. Keluarganya sendiri yang sederhana, sebagaimana kebanyakan sikap keluarga pedesaan Jawa, menerimanya dengan pasrah dan tabah.dan seterusnya.
Kematian Marsinah berbuntut panjang. Aparat membentuk Tim Terpadu kemudian menciduk 8 orang petinggi PT CPS. Penangkapan ini dinilai menyalahi prosedur hukum. Tak ada yang tahu kalau mereka dibawa ke markas TNI.Mereka disiksa untuk mengaku telah membuat skenario membunuh Marsinah. Pemilik pabrik PT CPS Yudi Susanto ikut dicokok.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.Menurut penyidikan polisi, Marsinah dijemput oleh pegawai PT CPS bernama Suprapto, lalu dihabisi Suwono, Satpam PT CPS setelah disekap tiga hari.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun. Mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.
Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak. Muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah direkayasa.Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.Setelah 23 tahun sulit sekali mengungkap kasus ini. Saat mendatangi Kodim Sidoarjo, tak ada lagi yang mau bicara."Mereka sudah tak ada lagi di sini. Sudah pensiun," kata seorang anggota Kodim
Bahkan, terakhir ini, DPRD Jawa Timur sudah meminta keterangan dan penjelasan beberapa perwira tinggi dan intelejen ABRI yang dianggap mengetahui dan bertanggungjawab atas kebijakan rejim saat itu. Mereka semua mengelak. Tak ada informasi yang signifikan, tak ada argumen yang bermakna, tak ada fakta-fakta dan bukit-bukti ‘baru’, yang dapat dijadikan dasar bagi upaya meraih keadilan. Semua pertanyaan kunci sederhana tak pernah terjawab: kapan Marsinah mati, di mana, oleh siapa, dengan cara bagaimana? Atau mungkin memang tak hendak dijawab, oleh siapapun kita.
Sementara itu Kontras tak henti-hentinya meminta Komnas HAM membuka ulang kasus ini. Presiden Gus Dur dan Megawati sudah meminta kasus Marsinah diungkap total.
Hingga hari ini Kontras menyebut kematian Marsinah masih menjadi kebingungan diantara kita,entah sampai kapan tapi yang jelas hingga saat ini tetap menjadi teka teki.
Sumber Refrensi :
04 Mei 1993,sore hari pada saat itu,13 buruh PT.CPS yang dicap sebagai dalang dipanggil untuk menghadap ke pasi intel KODIM 0816 Sidoarjo melalui surat yang ditanda tangani sekretaris kelurahan desa Siring.Mengetahui hal itu malamnya Marsinah menulis sebuah catatan yang berisi semacam petunjuk jawaban jika rekan-rekannya besok diintrogasi di KODIM,ia pun mengatakan kepada rekan-rekannya jika mereka diancam maka ia akan membawa persoalan ini keseorang pamannya dikejaksaan Surabaya.
Rabu,05 Mei 1993,13 buruh yang dipanggil memenuhi panggilan KODIM.Disitu mereka dipaksa untuk menanda tangani surat pengunduran diri bermaterai dengan berbagai intimidasi maupun bujukan, termasuk akan diberi uang pesangon dan ‘uang kebijaksanaan’. Tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali patuh, menandatangani surat tersebut.Selepas Maghrib mereka menerima uang pesangon yang langsung dibagikan menejemen dimarkas itu.Sempat terlontar dari salah seorang menejer PT CPS bahwa pemecatan tersebut bukan kemauan perusahaan, tapi kehendak Kodim.
Tapi menurut Uus (43,rekan Marsinah) sebenarnya para buruh pun sudah puas dengan keputusan perusahaan yang menaikan gaji. Bahkan Marsinah meminta teman-temannya giat bekerja karena perjuangan sudah selesai.
"Wes yo rek, perjuangane awak dewe wes mari. Upahe awak dewe wes diundakno. Saiki, aku titip. Ayo kerjo sing temen, gawe masa depane awak dewe sesuk (Sudah iya rek, perjuangan kita semua sudah selesai. Upah kita sudah dinaikan. Sekarang, saya titip. Ayo kerja yang benar, buat masa depan kita)," kata Uus menirukan perkataan Marsinah.
Sementara itu,untuk mendengarkan informasi dari ke 13 teman-temanya yang dipanggil KODIM itu,selepas pulang kerja giliran paginya,Marsinah bertemu dengan salah satu temannya dan mengingatkan untuk ada pertemuan untuk membahas hal tesebut.Dirumah pondokannya,ia membuat surat pernyataan yang dituliskan oleh teman satu kosnya yang juga berkerja di PT.CPS,pada sore harinya,surat tersebut difotocopy dan berencana untuk di bagikan ke teman-temannya pada pertemuan malam hari yang sebelumnya ia janjikan.Pada awalnya surat tersebut hendak disampaikan ke perusahaan melalui ketua unit kerja SPSI PT CPS, tapi Marsinah dan seorang temannya yang memboncengkannya dengan motor tidak berhasil menemukan rumah si ketua. Akhirnya ia sampaikkan langsung ke pabrik melalui satpam.
Sepulang mengantar surat,Marsinah kembali kepondokan salah seorang temannya.Menjelah Maghrib demi untuk mengetahui perkembangan ke 13 temannya,bersama 4 orang temannya Marsinah memutuskan untuk menyusul ke KODIM,3 orang temannya naik kendaraan umum sedangkan ia berboncengan dengan sepeda motor,tapi mereka semua terlambat sebab ke 13 temannya sudah kembali pulang,dalam perjalanan pulang ia sempat singgah ke beberapa temannya untuk membagikan-bagikan surat yang telah ia fotokopi.
Di perempatan desa Siring, Marsinah bertemu dengan empat dari 13 temannya. Karena silang pembicaraan di antara mereka terlalu ramai, Marsinah mengajak dua orang temannya bercakap-cakap di teras rumah pondokannya. Ia menceritakan bahwa telah membuat surat ke perusahaan dan menunjukkannya. Sebaliknya, Marsinah sangat terkejut dan gusar, ketika mengetahui ke-13 buruh yang dianggap biang pemogokan sudah dipecat di Makodim. Ia tidak menerima pemecatan itu, dan menegaskan akan mengadu ke pamanya yang jaksa di Surabaya itu.
Setalah teman-temannya pamit pulang, Marsinah masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian ia pamit kepada ibu pondokannya untuk ke rumah seorang teman perempuannya.Tapi ia tidak bertemu temannya itu karena kerja giliran malam.Pada saat itu Marsinah mengenakan kaos putih, rok coklat dan bersandal jepit.
Dalam perjalanan kembali ke pondokannya, ia berjumpa dengan dua orang kawannya yang lain, lalu mengajak mereka ke rumah pondokan teman lainnya untuk meminta Surat Persetujuan Bersama hasil perundingan 4 Mei 1993. Baginya surat kesapakatan itu penting untuk memastikan janji pihak perusahaan pada butir 10 kesepakatan tersebut, (kutipan aslinya): “Sehubungan dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon untuk tidak mencari-cari kesalahan karyawan”
Tetapi kesalahan buruh tetap dicari, dengan akibat pemecatan mereka. Janji tidak dipatuhi. Ia merasa diperlakukan sewenang-wenang, tidak adil. Kuasa otoriter tiba-tiba muncul dihadapannya, mengoyak akal sehatnya. Membuatnya geram, merasa dikhianati. Meskipun belum jelas baginya, siapa yang berkhianat? Pihak perusahaan atau Kodim?
Tak seorangpun dapat mengetahui apa yang ada dalam benak Marsinah malam itu: Rabu 5 Mei 1993. Yang diketahui, sepulang dari rumah temannya yang memberi Surat Persetujuan tersebut, ia mengajak dua kawan yang menemaninya untuk membeli makanan. Tapi karena sudah larut malam, menjelang setangah sepuluh, keduanya menolak. Mereka berpisah di bawah pohon mangga dekat Tugu Kuning, desa Siring."Sekitar pukul 10 malam (22.00 WIB), kita selesai pertemuan. Mbak Marsinah saat itu pamit makan ke seberang Jalan Raya Porong. Sedangkan kami, kembali ke kos masing-masing di Desa Siring," ujar Uus.
tugu kuning,tempat Marsinah dan temannya berpisah |
Dari perpisahan itu, ternyata itu pertemuan Uus dan buruh lainnya dengan Marsinah, yang terakhir. Sebab, mereka semuanya selama tiga hari mengira, kalau Marsinah pergi untuk pulang ke kampung halamannya di Nganjuk. Bahkan, buruh juga mendatangi kantor Kodim setempat, untuk mencari keberadaan Marsinah selama tiga hari.
"Setelah tiga hari kami mencari keberadaan mbak Marsinah. Baru pagi hari (8 Mei 1993), kami mendapat kabar, mbak Marsinah ditemukan dalam keadaan meninggal penuh luka di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk," kata Uus yang sudah tampak lemas.
Mendengar kabar itu, Uus dan seluruh karyawan pabrik seolah tidak percaya. Mereka hanya bisa menangis dan larut dalam kesedihan. Hingga pagi harinya (9 Mei 1993), Uus dan sejumlah rekannya memutuskan untuk melayat sekaligus memastikan kebenaran kabar tersebut ke rumah Marsinah di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
"Setelah mendapat kabar, beberapa teman kami, datang kesana untuk melayat dan melihat apakah itu memang Mbak Marsinah teman buruh kami? Ternyata saat didatangi, memang benar," cerita Uus.
gubuk tempat jasad Marsinah ditemukan |
Jasad Marsinah diketahui publik tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di pemukiman buruh desa Siring, Porong. Tak pernah diketahui dengan pasti siapa yang meletakkan mayatnya, siapa yang kebetulan menemukkannya pertama kali, dan kapan? Sabtu 8 Mei 1993 atau keesokan hari Minggunya? Seperti juga tak pernah terungkap melalui cara apapun: liputan pers, pencaraian fakta, penyidikan polisi, bahkan para dukun maupun pengadilan, oleh siapa ia dianaya dan di(ter)bunuh? Di mana dan kapan ia meregang nyawa, Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya? Kita cuma bisa berspekulasi dan menduga-duga. Kita memang bisa mereka-reka motif pembunuhan dan menafsirkan kesimpulannya senidri. Tapi kita tak mampu mengungkap fakta-faktanya. Kunci kematiannya tetap gelap penuh misteri hingga kini, walau 23 tahun berselang.
Menurut pakar forensik Abdul Mun'im idries,Meski jenazah Marsinah sudah dibedah, tapi tidak dijumpai laporan keadaan kepala, leher dan dada korban. Di dalam visum juga disebutkan Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut."Padahal yang seharusnya diutarakan pembuat visum adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan), bukan mekanisme kematian (pendarahan, mati lemas)" papar Mun'im.Fakta persidangan juga menyebut Marsinah ditusuk kemaluannya dalam waktu yang berbeda. Tapi dalam visum, hanya ada 1 luka, pada labia minora."Kejanggalan makin jelas ketika barang bukti yang dipakai menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka," sambungnya lagi.
Beberapa visum lainnya juga terus disoroti oleh Mun'im. Ia menduga pembuatan visum atau lazim disebut visum et repertum itu dilakukan di luar kelaziman."Kematian Marsinah seperti selalu ada yang kurang," tandasnya.
Kematian Marsinah berbuntut panjang. Aparat membentuk Tim Terpadu kemudian menciduk 8 orang petinggi PT CPS. Penangkapan ini dinilai menyalahi prosedur hukum. Tak ada yang tahu kalau mereka dibawa ke markas TNI.Mereka disiksa untuk mengaku telah membuat skenario membunuh Marsinah. Pemilik pabrik PT CPS Yudi Susanto ikut dicokok.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.Menurut penyidikan polisi, Marsinah dijemput oleh pegawai PT CPS bernama Suprapto, lalu dihabisi Suwono, Satpam PT CPS setelah disekap tiga hari.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun. Mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.
Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak. Muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah direkayasa.Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.Setelah 23 tahun sulit sekali mengungkap kasus ini. Saat mendatangi Kodim Sidoarjo, tak ada lagi yang mau bicara."Mereka sudah tak ada lagi di sini. Sudah pensiun," kata seorang anggota Kodim
tugu Pahlawan Buruh Marsinah |
Sementara itu Kontras tak henti-hentinya meminta Komnas HAM membuka ulang kasus ini. Presiden Gus Dur dan Megawati sudah meminta kasus Marsinah diungkap total.
Hingga hari ini Kontras menyebut kematian Marsinah masih menjadi kebingungan diantara kita,entah sampai kapan tapi yang jelas hingga saat ini tetap menjadi teka teki.
Sumber Refrensi :
- https://koranpembebasan.wordpress.com/2012/05/07/marsinah-korban-orde-baru-pahlawan-orde-baru/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Marsinah
- https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kronologi-hilangnya-marsinah-hingga-ditemukan-tewas.html
- http://www.rappler.com/indonesia/132331-5-hal-mengenai-aktivis-buruh-marsinah
- http://news.detik.com/berita/2286744/kejanggalan-kematian-marsinah-yang-ditemukan-munim-idries
0 pendapat anda:
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Mamen Untuk Postingan ini.